Sebuah Awal dari Kesulitan Besar

Bersatulah.com - Kalau prof. Jagdish Sheth menulis buku dengan judul Self Destructive Habits, maka tangan ini gatal menulis "Awal dari Sebuah Kesulitan Besar”.  Awal itu adalah soal pencarian  bangsa ini terhadap energi.

Sebuah Awal dari Kesulitan Besar

Ketika semua bangsa-bangsa sibuk mencari dan mengembangkan  energi-energi baru, kita justru terperangkap dengan politik populis yang seakan akan masih kaya minyak. Sudah tahu cadangan minyak dunia semakin menyusut tetapi andalannya masih tetap saja minyak. Sudah tahu kilangnya tidak besar, tetap saja foya-foya minyak. Gampang, tidak perlu minyak mentah, beli saja yang lebih mahal: Minyak yang sudah jadi.
 
Bagaimana energy alternatif?

Pola Pikir Minyak
Pola Pikir kita adalah negeri kaya minyak. Minyak itu seakan-akan tersedia gratis seperti air cebok. Harganya sepertiga dari harga sebungkus rokok. Meski untuk mendapatkannya butuh teknologi, pengetahuan tingkat tinggi, proses yang panjang, dan merusak lingkungan pula. Bahkan di negeri kepulauan yg miskin infrastruktur ini kita butuh biaya angkut yang mahal untuk mengirimnya dari satu tempat ke tempat lainnya.
 
Dengan paradigma itu rusaklah semuanya ketika realitasnya sudah berubah. Sumur-sumur minyak yang ada semakin hari semakin menyusut, produksinya turun. Bisa saja sumur-sumur itu disedot lagi, tetapi diperlukan investasi baru yang sangat besar. Investasi-baru itu ternyata tidak dilakukan. Deviden dari keuntungan usaha minyak diambil buat menambah pemasukan APBN, bukan buat reinvestasi untuk kemakmuran di masa depan.
 
Akibatnya kita tak punya uang. Alternatifnya, cari teman, cari investor. Tetapi mental kita mengatakan kita tidak ingin dikuasasi asing, karena perusahaan asing sudah terlalu banyak. Karena asing dikesankan menguasai. Karena asing mengambil terlalu banyak dalam bentuk cost recovery dan sebagainya. Tetapi sekali lagi, yang punya modal dan teknologi ya siapa lagi kalau bukan asing?  Bukannya melatih diri agar lebih cerdik, tetapi kita selalu hanya ribut.   Sementara itu mencari sendiri sumur-sumur baru selain beresiko gagal, biaya investasinya sangat besar.
 
Kata para ahli minyak, ada sih minyak itu. Tetapi terpendam di laut dalam, atau terperangkap di dalam bebatuan (shale oil & gas). Namun, untuk menangkapnya lagi-lagi butuh teknologi: Ya, tanpa pengembangan teknologi, tidak bisa kita dapatkan minyak itu.
 
Lalu ada gagasan mencari minyak di negeri lain. Tetapi lagi-lagi dukungan negara minim. Padahal negeri-negeri pemilik ladang-ladang minyak terus didatangi taipan-taipan minyak dari Malaysia, China, India, Thailand, Rusia, Amerika, Korea, dan Jepang. Mereka berebut memberi “pemanis” agar saling menguntungkan. Yang satu membangunkan kilang sehingga mendapatkan jaminansupply minyak mentah.  Yang lain memberikan harga pasar yang menggiurkan. Demi mendapatkan keberlangsungan energy sambil mendidik warga negara agar tahu bahwa barang ini sudah berubah menjadi barang mewah.

Karena kita tidak melakukannya, maka pilihannya hanya impor. Dari minyak mentah lalu minyak jadi dan semakin hari semakin besar. Dan ketika harganya di dunia internasional semakin mahal, kita pun menutup mata. Harganya di dalam negeri harus tetap murah. Tak peduli sekalipun akan digunakan untuk mabuk-mabukan, trek-trekan, untuk pacaran, pesta dan sebagainya. Rakyat kita sama sekali tidak dididik memahami bahwa minyak telah berubah menjadi barang mewah. Bahkan tak banyak yang diberitahu bahwa Indonesia sudah 5 tahun ini keluar dari keanggotaannya di OPEC (2008). Kita bukan lagi anggota dari negara-negara kaya pengekspor minyak, tetapi prilaku kita masih bak raja minyak.

Menjadi penjelajah energy. Sebab tanpa energy kita tak bisa menyimpan vaksin, tak bisa mendidik anak-anak, apalagi merawat kesehatan.
Pikiran kita adalah pikiran lama yang usang, yang seakan-akan Indonesia kaya minyak. Atau kalaupun tidak, pikiran kita mengatakan dunia ini masih kaya minyak. “Tidak akan pernah habis.” Produsen otomotif pun masih terus menjual kendaraan-kendaraan baru berbasiskan fossil fuel karena 
itulah energy yang paling efisien dan mudah dibawa. Dan kita pun terlena.

Energy Aternatif 
Apakah alternatif yang sedang kita cari? Tenaga surya? Ternyata Indonesia bukan wilayah yang bagus buat energy tenaga surya karena matahari yang bersinar 12 jam di sini tidaklah tajam cahayanya. Kita mendapatkan “Light” tetapi tidak “Heat” nya
Tenaga angin? Ternyata juga tidak cocok. Angin di negeri ini ternyata tak sekencang angin di negeri Belanda atau Swiss. Walaupun penduduknya sering dilanda “masuk angin" misalnya.
 
Adapun panas bumi, sesungguhnya sangat menarik. Indonesia adalah negeri yang dikelilingi oleh cincin-cincin api. Tetapi sayangnya panas bumi itu melewati kawasan-kawasan hutan lindung yang belum tentu ramah bagi lingkungan. Di sini perkembangan agak tersendat.
Lalu pilihannya ada pada bio diesel seperti minyak sawit, minyak kemiri sunan, dan sejenisnya. Tetapi selama harga minyak yang utama murah (BBM) maka sulit energi alternatif ini hidup dan berkembang. Sama sekali tak ada insentif untuk berubah.
 
Kita bisa teruskan perdebatan ini dengan energi-energi alternatif lainnya seperti batu bara, gas, nuklir dan seterusnya. Semuanya kita tentang, kita tertahan, terbelenggu, sulit bisa mewujudkannya.
 
Padahal di seluruh dunia bangsa-bangsa besar, termasuk negeri-negeri tetangga yang hanya sebesar Malaysia dan Thailand sekalipun sibuk membangun pertahanan energi. Diam-diam mereka membuat rakyatnya tidak mabuk minyak. Harga yang mahal bukan untuk menindas si miskin melainkan untuk mendidik kesadaran sebelum bencana besar itu tiba. Yaitu saat minyak sudah tak terbeli lagi sementara teknologi rumah tangga dan transportasi yang dipakai masih fossil fuel -based.
 
Dan diam-diam mereka melakukan riset secara mendalam demi mendapakatkan energi-energi baru yang lebih terjamin pasokannya. Diam-diam mereka memberi insentif agar perusahaan-perusahaannya rajin menjelajahi dunia dan menabung energy untuk masa depan. Diam-diam mereka mengikat dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Diam-diam mereka menyusun kekuatan-kekuatan baru.
 
Sayangnya di sini kita justru bertengkar. Kita hidup dalam alam pikiran yang tidak sama. Dalam egoisme ideologis partai yang semu. Dalam kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok yang bodoh. Dalam arahan yang sama sekali tak ilmiah dan tidak logis. Dalam permainan yang memanipulasi pikiran-pikiran rakyat. Dalam angan-angan bahwa kita punya segala-galanya. Kita dibiarkan mabuk. Dan bagi saya ini semua adalah awal bagi kesulitan yang lebih besar. Ayo putus mata rantainya. Bukalah pikiran-pikiran yang lebih sehat untuk berubah. (Sumber : Sindo, Edisi 20 Juni 2013)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sebuah Awal dari Kesulitan Besar"

Posting Komentar